Jumat, 22 Desember 2017

HARI MIGRAN INTERNASIONAL BERSAMA NURANI IBU

Berkecukupan secara ekonomi pastilah menjadi cita-cita semua orang. Banyak jalan yang harus dilakukan , semua itu disesuaikan dengan kehidupan lingkungan ,pendidikan dan latar belakang masalah yang ada. Kabupaten Trenggalek merupakan salah satu Kabupaten Kecil dengan 60 % wilayahnya dalah Pegunungan. tidak banyak pilihan pekerjaan yang menjanjikan nilai ekonomi tinggi. PNS, Pedagang , wirausahawan juga sedikit dibanding dengan jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Trenggalek.Melatar belakangi tuntutan ekonomi yang ada sebagian Masyarakat Trenggalek yang mencoba mengadu nasibnya pergi ke luar kota, keluar pulau atau bahkan ke luar negeri.

  Dari 152 Desa yang ada  di Kabupaten Trenggalek hampir pasti ada masyarakat yang menjadi TKI/TKW .Desa Dongko Kecamatan Dongko merupakan salah satu kantong TKI /TKW yang ada di Kabupaten Trenggalek. Akan tetapi secara ekonomi Kecamatan Dongko merupakan daerah yang masuk katagori miskin dari 14 Kecamatan yang ada di Kabupaten Trenggalek. dari data tersebut sebenarnya ada masalah. Seharusnya semakin banyak TKI/TKW kehidupan Ekonomi di Dongko lebih maju.Bulan Oktober 2017 Desa Dongko yang merupakan penyumbang TKI/TKW di Kabupaten Trenggalek dijadikan sebagai Desa Desmigratif yang menggandeng beberapa aktivis buruh migran yang ada di sana.

Paguyuban 'Nurani Ibu " merupakan salah satu Paguyuban eks Buruh Migran yang ada di Desa Dongko. Sudah hampir 8 tahun Paguyuban ini telah berdiri dan berkiprah. Bukan waktu yang sedikit untuk sebuah Paguyuban untuk menjadi eksistensi dan konsistensi dalam berorganisasi Dimulai dari rasa keprihatinan yang dirasan oleh Bu Sunarsih, warga Dusun Klangsur Desa Dongko, Paguyuban Nurani Ibu berdiri ditengah masyarakat Desa Dongko. Anggotanya sampai saat ini ada 40 anggota aktif dan 10 anggota pasif yang semuanya merupakan Eks Buruh Migran dan sebagian besar adalah ibu-ibu . Tanggal 22 Desember 2017 bertepatan dengan Hari Ibu, Paguyuban Nurani Ibu merayakan Ulang Tahun ke 9 sekaligus Harlah Buruh Migran Internasional. Jika dilihat dari acaranya akan terlihat sangat sederhana. mereka berkumpul dan saling bercerita. Mungkin yang sedikit istimewa pada Harlah Paguyuban Nurani ibu yang ke 9 ini ada perwakilan Perkumpulan Inisiatif yang sudi hadir adalam acara tersebut.

Di sesi Pertama Ahmad Najib Fasilitator Sepola Desa menyajikan sebuah film pendek berduarasi 6 menit yang menceritakan tentang berbagai pengalaman beberapa orang eks Buruh migran dalam mengorganisir sebuah kelompok eks Buruh migran sampai akhirnya mereka mampu menikmati jerih payah  .Bu Ratna , salah satu anggota Paguyuban Nurani Ibu, menceritakan bagaimana ketika beliau menjadi TKW tahun 1999-2002 di Singapura selama 3 Tahun. Beliau bekerja mulai jam 4 pagi sampai jam 7 malam hanya gara mendapatkan gaji 5 juta itupun harus dilalui dengan "laku prihatin" penghematan yang luar biasa. "kan saya ndak perlu berpakain bagus, jika disana mau membersihkan kamar mandi, saya ke sana pinginnya mung kerja...."ujarnya sambil. Kemuadian ketika pulang ke Indonesia beliau mencoba membuat usaha mulai dari potong rambut(salon), julaan air minum tapi belum bisa dikatakan berhasil akan tetapi tetap bersyukur sampai sekarang masih cukup dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berbeda denga Bu Ratna, Bu Jasih, yang merupakan Asli Jawa Tengah yang bersuamikan oarang Dongko, membuat usaha Ternak Kambing Ettawa yang diambil susunya. Beliau menceritakan bagaiman jatuh bangunnya merintis usaha.
Dari curhatan beberapa anggota Paguyuban Nurani Ibu, Ahmad Gunawan dari Perkumpulan Inisiatif mencoba menggali beberapa hal penting yang bisa dijadikan garis tengah untuk mencari solusi dalam permsalahan yang terjadi di kegiatan Eks Buruh migran tersebut. Secara soliditas Paguyuban Nurani Ibu boleh dikatan sangat bagus dan solid.

Beberapa Kegiatan Pelatihan sudah mulai dilakukan oleh Paguyuban Nurani Ibu, mulai dari Pelatihan jahit, snack, Pembuatan Makanan dan minuman berbahan Susu. yang menjadi permasalahan utama adalah bagaimana Paguyuban ini mempunyai Galeri/ Kios untuk mendisplay dan menjual hasil karya mereka.Contoh kecil. Paguyuban ini sudah mampu mengolah bahan mentah yang ada di lingkungan mereka seperti, kelapa,singkong, pisang untuk dibuat kripik, akan tetapi untuk pemasaran mereka masih kesulitan, secara rasa tidak kalah dengan Produk-produk yang da bahkan seperti sale pisang dan Kripik Pisang (criping) itu sangat enak.

Secara Packing memang Masih sederhana , hanya dibungkus plastik,  mungkin salah satu kelemahan kenapa Produk -produk tersebut masih terkesan "murahan" . Ahmad Gunawan menyampaikan "jika Ibu-ibu siap kami akan mendatangkan Pakar Branding dan Packing dari Trenggalek sekaligus akan membantu pemasaran produk mereka". Paguyuban Nurani sangat berharap di Tahun ini bermimpi bisa memiliki Kios di pinggir jalan , tidak seperti saat ini seluruh Produk Paguyuban masih didisplay di ruang sederhana di sekretariat Paguyuban Nurani Ibu di Dusun Klangsur. Di hari minggu , Tanggal 24 Desember 2017, Paguyuban juga kan melaksanakan kegiatan Perlombaan mewarnai yang diikuti oleh anak-anak yang ditinggal oleh orang tuannya bekerja di luar negeri.Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan motivasi dan menjadi bentuk dukungan perhatian bahwa apapun maslah yang menyangkut Buruh Migran itu adalah tanggung jawab bersama.
Pertemuan kali ini tambah semarak dengan ditutup hidangan makanan khas Dongko, ada sambel cirang, gethengan tempe digoreng dengan tepung gaplek, dan masih banyak lagi yang semuanya disediakan oleh anggota Paguyuban Nurani Ibu.



Kamis, 14 Desember 2017

UKHWAH INSANIYAH DI JAMAN NOW

Seakan-akan sudah seperti isu klasik menjelang Perayaan hari Natal 25 Desember, Saudara –saudara kita Kristiani diserang oleh isu tentang “haram” mengucapkan “Selamat Hari Natal”. Cuma yang saya heran kenapa mereka tidak bosan-bosannya menghembuskan isu-isu “murahan” untuk mendiskreditkan saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan. Apa ketika kita mengucapkan Natal terus kita menjadi orang Kristen atau sebaliknya ketika mereka mengucapkan Idul fitri bisa jadi orang islam ,kan yang tidak boleh itu ketika kita “Murtad” Mbok biarkan saja toh..itu pilihan mereka, kan yang nagging resikonya mereka sendiri dengan yang punya jasad?siapa yang punya Jasad?kan Tuhan jadi berhentilah menghakimi apa yang diyakini benar oleh orang lain (caknun).

 Padahal Sudah jelas Negara Indonesia berediologikan Pancasila yang menghormati keberagaman Agama. Dan 25 Desember sudah dijadikan sebgai hari libur Nasional dan secara sah sudah diakui oleh Negara. Mbok ya o….di tanggal 25 Desember kita saling merangkul dan menghormati sebagai bagian dari Ukhwah Insyaniyah jangan mengkotak-kotakkan manusia lain karena perbedaan keyakinan.Menurut Tri Wahyu Budi Setiawan dalam tulisanya “Persaudaraan Manusia Sedunia” yang menyatakan bahwa “Secara luas, ada tiga tingkatan persaudaran, yakni: pertama, persaudaraan di antara sesama manusia (ukhuwah insaniyah) secara menyeluruh, dalam hal ini tidak melihat adanya perbedaan dari aspek apapun, yang dilihat hanyalah dimensi kemanusiaan. Kedua, persaudaraan (ikatan) di antara mereka yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini tidak menetapkan atau memastikan nama Agama, tetapi yang dilihat adalah pada dimensi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, persaudaraan sesama umat Islam. Dalam hal ini, ada suatu keharusan bahwa hanya pada orang-orang muslim, meski demikian dalam persaudaraan sesama muslim tidak melihat adanya perbedaan etnis, jenis kelamin, bahasa, dan lain-lain. Ajaran tentang persaudaraan dimaksud akan berhadapan dan bersentuhan dengan kemajemukan agama, budaya, etnis dan berbagai sekte, berbagai aliran dan mazhab yang ada dalam Islam sendiri. Kondisi seperti ini sering disebut dengan pluralisme.”


Bahkan Budayawan kondang Emha ainun Nadjib atau yang di kenal Cak Nun  dengan Kyai Kanjengnya di banyak kesempatan selalu menyampaikan pandangannya tentang Pluralisme bahwa kulit putih, hitam, dan kulit coklat, ulama, tukang becak, pencari kodok atau pengusaha, hanyalah terbedakan secara fungsional dan terminologis. Tetapi mereka adalah manusia yang sama dan memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap kebahagiaan, kesejahteraan, hak politik serta kewajiban untuk patuh terhadap aturan main.beliau juga mencotohkan seperti dalam esai Tulisan Tri wahyu Budi Setiawan ada sebuah kisah orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit. Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, padahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhammadiyah. Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya.
Dari ilustrasi diatas sungguh sebuah hubungan kemanusiaan yang luar biasa dan mampu menciptkan kedamaian dan tidak saling curiga satu dengan yang lain.Saya sendiri juga bagian muslim yang dari keciil berada di lingkungan yang kebetulan seluruhnya muslim.Ketika Sekolah Dasar selama 6 tahun guru saya ada yang beragama Non Muslim dan Sekarang juga bekerja dengan mereka yang non muslim. Tapi apa yang terjadi saya tetap baik- baik saja dalam memegang prinsip kegamaan saya. Bahkan setiap tanggal 25 Desember keluarga besar tempat bekerja saya selalu  datang untuk memberikan selamat Hari Natal

PERSAUDARAAN DENGAN PRINSIP KEISLAMAN

Kata Mbah Nun, kebanyakan kita berpikir bahwa ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan (keguyuban, kebersamaan, kesatuan) di antara orang-orang Islam. Bahwa ukhuwah Islamiyah menyangkut hanya kaum Muslimin dan Muslimat.
Padahal, lanjut Mbah Nun, ukhuwah Islamiyah bukan ukhuwatul-muslimin atau ukhuwah bainal-muslim wal-muslim, atau macam-macam pertalian lagi di kalangan kaum muslimin. Juga bukan ukhuwatul-Islamiyah, melainkan ukhuwatun Islamiyatun. Jadi Islamiyah di situ merupakan kata sifat. Artinya, ukhuwah Islamiyah ialah suatu persaudaraan dengan prinsip keislaman, pola keislaman dan nafas keislaman. Persaudaraan antara siapa? Antara semua manusia.
Jadi?
Mbah Nun menambahkan bahwa kita punya cukup banyak ayat untuk ”mengafirkan” orang, ”memusyrikkan” atau ”memunafikkan”-nya, dalam arti menghakimi ”status”-nya. Tapi marilah perhatikan beberapa hal:
Pertama, apa yang sebenarnya kita maksud dengan membina ukhuwah, apa lingkaran konteksnya, mana batas-batasnya, dalam hal apa kita bisa berangkulan dan dalam soal mana kita wajib bertentang pandang. Kalau ada orang ketubruk truk jangan kita tanya dulu apa agamanya, sebab kalau dia bilang Hindu, kita bukan tidak menolongnya.
Kedua, marilah kita percaya kepada Allah yang menyebut, bahwa pada dasarnya manusia itu lemah. Jadi ada baiknya kita cari pahala dengan berpikir atas nafas allafa baina qulubihim, bahwa orang yang kita sebut kafir, musyrik, munafik itu setidaknya ”sekadar” orang yang mengandung unsur kekufuran, kemusyrikan dan kemunafikan. Hidup itu sendiri kompleks, tak terangkum oleh arti tunggal, dan kita mesti berendah hati untuk memahami seluruh segi hidup beserta latar belakang pertumbuhannya.
Seperti juga kalau kita hidup terlalu mengejar uang dan kebendaan sampai mubazir dan sering tidak fungsional, maka unsur kemusyrikan kita juga besar. Dan lagi, prilaku orang non-Muslim tidak jarang lebih dari Islam di banding prilaku kita yang muslim syahadat fasih ini. Jadi kita harus siap menilai muslim-kafir lebih dari sekadar gincu bibirnya, dengan demikian kita bisa menemukan makna ukhuwah Islamiyah secara lebih luas.
Ketiga, bagaimana kalau (kewajiban Muslim) kita mencintai semua orang seperti kita mencintai diri sendiri? Kalau tetangga kita suka judi dan mabuk, maka kadar cinta mesti lebih besar agar kita cukup stamina untuk memperhatikannya dan berusaha menyeretnya untuk tak meneruskan perbuatannya. Orang-orang di luar Islam mestinya justru kita dekati, dengan ukhuwah Islamiyah, agar kita berbuat baik atas mereka dan membawa mereka ke dalam jannatun-na’im. Tetapi, yang harus diingat, menurut Mbah Nun:
Syaratnya memang mesti kuat dulu Islam kita, supaya tidak justru terseret oleh mereka. Dan kalau selama ini kita cenderung membentengi diri bergaul dengan mereka, bahkan menjauhi mereka, melihat mereka hanya sebagai kerak api neraka, maka artinya di samping kita tak mampu mengasihi manusia, kita juga kurang memanfaatkan kesempatan untuk menguji dan memperkembangkan kekuatan keislaman kita. Kelemahan kaum muslim umumnya, selama ini, ialah kurangnya kemampuan dan menghakimi dalam arti hanya menggarap orang non-Islam sebagai sekadar musuh, tidak (juga) sebagai manusia yang sesama kita; yang musti kita cintai. Karena itu jangankan berhubungan ke luar Islam, bahkan internal Islam sendiri perbedaan sering tidak menjadi rahmat, melainkan menjadi malapetaka dari ketidakdewasaan.
Bagaimana mungkin kita berdakwah dengan cara menjauhi dan membenci mereka? Ukhuwah Islamiyah, adalah salah satu aplikasi dari makna Islam sebagai rahmatan-lil-‘alamin: cahaya benderang bagi semua manusia. Maka kita jangan monopoli untuk kepentingan kita saja, sebab adalah hak setiap anggota ummat dunia untuk berproses menjadi Islam –betapapun ruwet proses itu. Kewajiban kitalah untuk memberi jalan bagi mereka.
Mbah Nun menandaskan:
Islam itu kedamaian dan keselamatan bagi seluruh manusia. Islam bukan agama pembunuh-pembunuh yang egois, meskipun Islam bisa dan layak menangani menampar pihak-pihak tertentu, sepanjang mereka sudah tak bisa lagi dicintai secara lembut dan senyuman.
Tentang perbedaan keyakinan, Mbah Nun mengatakan bahwa keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati.
Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar, ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah. Justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam. Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja di dalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.
Untuk itu, lanjut Mbah Nun, biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing. Tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya.
Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya.
Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapi pun kita bekerja sama nyingkal dan nggaru sawah. Itulah lingkaran tulus hati dengan hati.






Kamis, 07 Desember 2017

MASIH ADA ASA (TKI) DI DONGKO

Sebuah perjalanan kecil ditengah kegiatan salah satu Program Pendampingan Pemberdayaan Desa yang bermana Sekolah Politik Anggaran (SEPOLA ) Desa di Desa Dongko Kecamatan Dongko.Langkah saya ditakdirkan untuk bertemu dengan salah satu Alumni SEPOLA Desa yang diluar dugaan telah melakukan sebuah kegiatan yang luar biasa terkait dengan Buruh Migran. Bu Sunarsih  warga Dusun Klangsur, Desa Dongko bersama beberapa temannya melakukan upaya Pemberdayaan Eks Buruh Migran di sekitar rumahnya secara swadaya. Kegiatan ini sudah berjalan hampir 9 tahun dan tanpa melibatkan pihak manapun termasuk Pemerintah Desa Dongko ataupun Dinas terkait.Bu Sunarsih memang terlihat berbeda dari seleuruh peserta SEPOLA yang diadakan oleh Inisiatif Bandung yang merupakan Mitra kerja KOMPAK selama 5 hari di Desa Dongko pada bulan Maret 2017. Di beberapa kesempatan ketika kita membahas terkait peran serta Desa terhadap buruh migran dan eks Buruh migran di Desa Dongko ada letupan-letupan ketidakpuasan yang disampaikan.Desa Dongko merupakan kantong TKI/TKW di Kabupaten Trenggalek 10 % penduduk di Desa Dongko mencari pekerjaan di luar negeri.
Memang tidak dipungkiri, sempitnya lapangan pekerjaan di Kabupaten Trenggalek menjadi motivasi kebanyakan masyarakat di wilayah Dongko untuk mencoba keberuntungan di luar negeri.Wilayah Dongko yang kita tahu merupakan daerah Pegunungan memang tidak banyak pilihan pekerjaan yang menjanjikan hasil yang mampu memenuhi kehidupan sehari-hari. Mekanisme Pemberangkatan yang mudah dan menggiurkan yang ditawarkan oleh PJTKI baik yang ada di sekitar Kecamatan Dongko atau diluar Dongko menambah deretan masyarakat yang ingin mengadu nasib diluar negeri. Kebanyakan masyarakat Desa Dongko memilih Taiwan sebagai tempat untuk bekerja.Memang ada yang punya kisah Sukses menjadi seorang TKI/TKW akan tetapi kisah menyedihkan juga tidak sedikit.
Secara sosial dan kehidupan cerita miris dan duka sudah menjadi rahasia umum. Tapi juga ada yang menjadi Orang kaya baru di Desanya ketika menjadi TKI/TKW. Kemampuan Sumber Daya manusia menjadi salah satu pendorong kehidupan TKI/TKW . Kebanyakan mereka yang bekerja di luar negeri tidak bekerja di Pekerjaan Formal tapi lebih banyak di Pekerjaan informal seperti menjadi Pembatu rumah tangga.Keinginan menjadi Buruh Migran tidak hanya karena dorongan pekerjaan tapi juga sebagai pelarian dari beban yang ada . Mereka yang masih berkeluarga ketika memutuskan untuk mengadu nasib di luar negeri harus meninggalkan suami/istri dan anak ataupun orang tua.Seringkali karena desakan dan ketidak mampuan menghadapi beban hidup mereka melakukan  segala cara, entah itu harus menjual tanah ,harta benda yang lain agar bisa membayar biaya untuk bekerja di Luar Negeri.Jadi secara tidak langsung sebenarnya ketika Buruh Migran itu pergi bekerja di luar negeri telah membawa beban kehidupan yang luar biasa. Belum lagi jika mereka berangkat dengan sistem potong gaji.Satu tahun pertama harus rela tanpa penghasilan yang wajar, belum lagi kebutuhan di rumah dimana yang pasti juga perlu kiriman. Akan beruntung jika diluar negeri mendapatan majikan yang baik hati kalau tidak beruntung akan menambah persoalan lagi.Nah..begitu kompleksnya permasalahan yang terjadi pada Buruh Migran dan pernah dirasakan sendiri oleh Bu Sunarsih sendiri mendorong Tahun 2008, ibu 2 anak ini mencoba mencari solusi untuk membantu tetangganya yang saat itu bingung dan menganggur karena tidak ada yang bisa dikerjakan setelah hasil dari ketika bekerja diluar negeri telah habis untuk kebutuhan sehari-hari dan merasa iba atas mereka yang ditinggalkan oleh orang tuanya bekerja diluar negeri. Banyak anak-anak Buruh Migran harus dirawat oleh neneknya atau ayahnya ketika si Ibu harus bekerja di Luar Negeri.
Di awal kegiatannya Bu Sunarsih dan kawan-kawan melakukan kegiatan Arisan yang dikhususkan untuk mereka yang pernah menjadi Buruh Migran .Sambil arisan yang kebetulan merupakan ibu -ibu , mereka membuat kerajinan tangan seperti bross, kemucing dan keset dari limbah kain perca.Hasil karya mereka di jual dor to dor di toko -toko sekitar Desa Dongko dan luar Desa Dongko bahkan sampai ke Kota Trenggalek. Dari hasil penjualan tersebut digunakan untuk mendirikan komunitas yang khusus menangani Buruh Migran. Ada 2 Kelompok Eks buruh Migran yang dikelola oleh Bu Sunarsih dan kawan-kawan sampai hari ini yaitu  Nurani Ibu dan Dewi Sartika.
Kegiatan yang dulunya hanya fokus pada kegiatan membuat kerajinan tangan mulai berkembang untuk mendampingi keluarga yang ditinggal bekerja diluar Negeri. Bagaimana Bu Sunarsih dan kawan -kawan dor to dor dengan keikhlasan hati mendatangi keluarga yang ada TKI/TKW nya. Tidak ada perjuangan yang tanpa halangan. Kegiatan yang mereka lakukan harus sabar dengan cibiran dan gunjingan dari banyak orang.Mereka menganggap apa yang dilakukan hanyalah kegiatan yang sia-sia dan membuang-buang waktu. Bahkan mereka juga mencibir bahwa yang seharusnya melakukan pendampingan itu Pemerintah melalui Dinas terkait. Bu Sunarsih dan kawan -kawan tidak pantang mundur berbekal keyakinan Bahwa memanusiakan manusia dengan jalan mendampingi dan meringankan beban mereka yang sedang bekerja di luar negeri adalah kewajiban sebagaimana kita menjalankan sholat 5 waktu. Mereka tidak tega melihat anak-anak yang butuh kasih sayang , butuh figur seorang ibu siapa lagi yang  harus membatu jika bukan mereka sebagai tetangga yang setiap hari bertemu dan melihat.Seorang suami yang ditinggal  bekerja keluar negeri oleh Istrinya tidak bisa menjadi figur seorang ibu, akan tetapi Seorang istri yang ditinggal oleh Suaminya bisa menjadi figur seorang bapak.
Bu Sunarsih dan kawan-kawan secara swadaya mencari informasi terkait pelatihan-pelatihan terkait dengan Buruh Migran.Data per April 2017 sebanyak 40 orang aktif tergabung di Kelompok tersebut.Beberapa kegiatan yang sudah pernah dilkukan dalam rangka Peningkatan masyarakat eks buruh Migran adalah sebagai berikut : Pelatihan Pemberdayaan TKI Purna yang diselenggarakan oleh LP3TKI di Surabaya, kegiatan itu dilaksnakan selama 6 hari , dan Pasca kegiatan tersebut mendapatkan bantuan pisau untuk iratan bambu. Di Bulan Agustus yang lalu Bu Sunarsih mendapatkan kesempatan mendapatkan pelatihan dari Kementerian Tenaga Kerja di Jakarta. Berbekal Pelatihan itu mendorong Bu sunarsih dan kawan-kawan memcontoh kegiatan Community Parenting yang dahulu pernah dilakukan oleh BKKBN yang tidak berjalan sesuai dengan rencana.
Sebenarnya siang ini kenapa  Saya dan Mas Gunawan , DF Inisiatif mengunjungi rumah kecilnya  adalah untuk mendengar dan sharing informasi kegiatan Bu Sunarsih dan kawan -kawan dalam rangka Pendampingan eks Buruh Migran di Desa Dongko yang akan kita jadikan sebagai bahan yang bisa disampaikan kepada Pemerintah Desa dan Dinas terkait agar mau membantu apa yang menjadi kegiatan Bu Sunarsih dan kawan-kawan. Dari pembicaraan awal kami menangkap bahwa mereka secara pondasi semangat dan kerja sudah sangat terlatih, kalaupun tidak ada ataupun ada bantuan dari siapapun mereka sudah sangat mampu dan madiri. Hanya saja perlu adanya pengarahan kegiatan yang bisa dilakukan oleh Bu Sunarsih dan Kawan -kawan agar punya nilai kemanfaatan lebih terhadap Eks Buruh Migran atau Buruh Migran yang masih diluar negeri.
Bu Sunarsih , menceritakan bahwa per Oktober 2017 telah beliau dan Kawan -kawan digandeng oleh Disnakertras Kabupaten Trenggalek untuk melakukan pendataan (sensus ) TKI per bulan deangn nama program “Anjang sana” TKI/TKW . Data per Oktober 2017 lebih dari 500 orang yang bekerja diluar negeri , jumlah itu masih yang terdata secara resmi di Disnakertras belum lagi yang berangkat secara ilegal , masih ada hampir 300 an orang itu satu wilayah di Desa Dongko. Ada pertanyaan yang saya ajukan terkait dengan kendala yang dihadapi dilapangan terkait dengan kegiatan sensus tersebut. Bu Sunarsih menceritakan bagaimana dia harus mengadapi situasi ketika masuk didalam rumah salah satu TKW yang ada anak kecil yang secara tiba-tiba merangkul, menggelayut, seolah -olah rindu akan figur ibunya. Tidak jarang beliau harus menyisihkan uang pribadinya untuk membeli Makanan kecil sebagai oleh -oleh ketika melakukan pendataan.
 Beliau juga menyampaikan bahwa Tanggal 6-8 Desember 2017 diadakan pelatihan jahit yang diselenggarakan oleh Dinas Tenaga kerja dan transmigrasi kabupaten Trenggalek, bertempat di rumah bapak Suryono, RT 21 RW 05 Dusun Klangsur Desa Dongko.Bu Sunarsih dan kawan -kawan sedang merintis Sebuah Koperasi Simpan Pinjam khusus untuk purna TKI/TKW yang selama ini kesulitan meminjam uang untuk modal, sehingga banyak yang pinjam ke Koperasi Simpan Pinjam dengan Bunga yang relatif tinggi.Sejalan dengan apa yang sedang  dirintis oleh Bu sunarsih dan Kawan-kawan, kami berupaya menawarkan solusi agar Koperasi Purna ini bisa menjadi salah satu Sub bidang dari BUMDes di Desa Dongko . Dengan hadirnya BUMDes Dongko yang melibatkan Kegiatan Purna TKI akan mampu menigkatkan taraf hidup purna TKI/TKW. BUMDes tidak hanya sebagai tempat untuk Simpan Pinjam tapi lebih pada Peningkatan kwalitas produk dan sekaligus bisa menjadi wadah untuk menjual produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat Dongko.Letak Desa Dongko yang strategis sebagai urat nadi Perputaran uang yang dari arah Panggul dan Pule, seharusnya secara pasar sangat luas.itulah yang selama ini masih belum tergarap secara serius oleh Pemerntah Desa Dongko.
Diakhir pertemuan Siang ini , Bu Sunarsih berharap besar agar upaya yang beliau rintis  dengan kawan -kawan mendapatkan pendampingan secara serius dan berkelanjutan agar tidak ada Eks Buruh Migran yang kembali lagi bekerja ke luar negeri. Dan Mereka yang masih diluar negeri bisa memanfaatkan hasilnya secara benar untuk bekal dimasa yang akan datang.Seperti pepatah “Dari pada hujan emas dinegeri orang lebih baik hujan batu dinegeri sendiri, bagaimanapun senangnya dinegeri orang ,masih lebih senang hidup dinegeri sendiri “ ... (to be continue)