Kamis, 07 Desember 2017

MASIH ADA ASA (TKI) DI DONGKO

Sebuah perjalanan kecil ditengah kegiatan salah satu Program Pendampingan Pemberdayaan Desa yang bermana Sekolah Politik Anggaran (SEPOLA ) Desa di Desa Dongko Kecamatan Dongko.Langkah saya ditakdirkan untuk bertemu dengan salah satu Alumni SEPOLA Desa yang diluar dugaan telah melakukan sebuah kegiatan yang luar biasa terkait dengan Buruh Migran. Bu Sunarsih  warga Dusun Klangsur, Desa Dongko bersama beberapa temannya melakukan upaya Pemberdayaan Eks Buruh Migran di sekitar rumahnya secara swadaya. Kegiatan ini sudah berjalan hampir 9 tahun dan tanpa melibatkan pihak manapun termasuk Pemerintah Desa Dongko ataupun Dinas terkait.Bu Sunarsih memang terlihat berbeda dari seleuruh peserta SEPOLA yang diadakan oleh Inisiatif Bandung yang merupakan Mitra kerja KOMPAK selama 5 hari di Desa Dongko pada bulan Maret 2017. Di beberapa kesempatan ketika kita membahas terkait peran serta Desa terhadap buruh migran dan eks Buruh migran di Desa Dongko ada letupan-letupan ketidakpuasan yang disampaikan.Desa Dongko merupakan kantong TKI/TKW di Kabupaten Trenggalek 10 % penduduk di Desa Dongko mencari pekerjaan di luar negeri.
Memang tidak dipungkiri, sempitnya lapangan pekerjaan di Kabupaten Trenggalek menjadi motivasi kebanyakan masyarakat di wilayah Dongko untuk mencoba keberuntungan di luar negeri.Wilayah Dongko yang kita tahu merupakan daerah Pegunungan memang tidak banyak pilihan pekerjaan yang menjanjikan hasil yang mampu memenuhi kehidupan sehari-hari. Mekanisme Pemberangkatan yang mudah dan menggiurkan yang ditawarkan oleh PJTKI baik yang ada di sekitar Kecamatan Dongko atau diluar Dongko menambah deretan masyarakat yang ingin mengadu nasib diluar negeri. Kebanyakan masyarakat Desa Dongko memilih Taiwan sebagai tempat untuk bekerja.Memang ada yang punya kisah Sukses menjadi seorang TKI/TKW akan tetapi kisah menyedihkan juga tidak sedikit.
Secara sosial dan kehidupan cerita miris dan duka sudah menjadi rahasia umum. Tapi juga ada yang menjadi Orang kaya baru di Desanya ketika menjadi TKI/TKW. Kemampuan Sumber Daya manusia menjadi salah satu pendorong kehidupan TKI/TKW . Kebanyakan mereka yang bekerja di luar negeri tidak bekerja di Pekerjaan Formal tapi lebih banyak di Pekerjaan informal seperti menjadi Pembatu rumah tangga.Keinginan menjadi Buruh Migran tidak hanya karena dorongan pekerjaan tapi juga sebagai pelarian dari beban yang ada . Mereka yang masih berkeluarga ketika memutuskan untuk mengadu nasib di luar negeri harus meninggalkan suami/istri dan anak ataupun orang tua.Seringkali karena desakan dan ketidak mampuan menghadapi beban hidup mereka melakukan  segala cara, entah itu harus menjual tanah ,harta benda yang lain agar bisa membayar biaya untuk bekerja di Luar Negeri.Jadi secara tidak langsung sebenarnya ketika Buruh Migran itu pergi bekerja di luar negeri telah membawa beban kehidupan yang luar biasa. Belum lagi jika mereka berangkat dengan sistem potong gaji.Satu tahun pertama harus rela tanpa penghasilan yang wajar, belum lagi kebutuhan di rumah dimana yang pasti juga perlu kiriman. Akan beruntung jika diluar negeri mendapatan majikan yang baik hati kalau tidak beruntung akan menambah persoalan lagi.Nah..begitu kompleksnya permasalahan yang terjadi pada Buruh Migran dan pernah dirasakan sendiri oleh Bu Sunarsih sendiri mendorong Tahun 2008, ibu 2 anak ini mencoba mencari solusi untuk membantu tetangganya yang saat itu bingung dan menganggur karena tidak ada yang bisa dikerjakan setelah hasil dari ketika bekerja diluar negeri telah habis untuk kebutuhan sehari-hari dan merasa iba atas mereka yang ditinggalkan oleh orang tuanya bekerja diluar negeri. Banyak anak-anak Buruh Migran harus dirawat oleh neneknya atau ayahnya ketika si Ibu harus bekerja di Luar Negeri.
Di awal kegiatannya Bu Sunarsih dan kawan-kawan melakukan kegiatan Arisan yang dikhususkan untuk mereka yang pernah menjadi Buruh Migran .Sambil arisan yang kebetulan merupakan ibu -ibu , mereka membuat kerajinan tangan seperti bross, kemucing dan keset dari limbah kain perca.Hasil karya mereka di jual dor to dor di toko -toko sekitar Desa Dongko dan luar Desa Dongko bahkan sampai ke Kota Trenggalek. Dari hasil penjualan tersebut digunakan untuk mendirikan komunitas yang khusus menangani Buruh Migran. Ada 2 Kelompok Eks buruh Migran yang dikelola oleh Bu Sunarsih dan kawan-kawan sampai hari ini yaitu  Nurani Ibu dan Dewi Sartika.
Kegiatan yang dulunya hanya fokus pada kegiatan membuat kerajinan tangan mulai berkembang untuk mendampingi keluarga yang ditinggal bekerja diluar Negeri. Bagaimana Bu Sunarsih dan kawan -kawan dor to dor dengan keikhlasan hati mendatangi keluarga yang ada TKI/TKW nya. Tidak ada perjuangan yang tanpa halangan. Kegiatan yang mereka lakukan harus sabar dengan cibiran dan gunjingan dari banyak orang.Mereka menganggap apa yang dilakukan hanyalah kegiatan yang sia-sia dan membuang-buang waktu. Bahkan mereka juga mencibir bahwa yang seharusnya melakukan pendampingan itu Pemerintah melalui Dinas terkait. Bu Sunarsih dan kawan -kawan tidak pantang mundur berbekal keyakinan Bahwa memanusiakan manusia dengan jalan mendampingi dan meringankan beban mereka yang sedang bekerja di luar negeri adalah kewajiban sebagaimana kita menjalankan sholat 5 waktu. Mereka tidak tega melihat anak-anak yang butuh kasih sayang , butuh figur seorang ibu siapa lagi yang  harus membatu jika bukan mereka sebagai tetangga yang setiap hari bertemu dan melihat.Seorang suami yang ditinggal  bekerja keluar negeri oleh Istrinya tidak bisa menjadi figur seorang ibu, akan tetapi Seorang istri yang ditinggal oleh Suaminya bisa menjadi figur seorang bapak.
Bu Sunarsih dan kawan-kawan secara swadaya mencari informasi terkait pelatihan-pelatihan terkait dengan Buruh Migran.Data per April 2017 sebanyak 40 orang aktif tergabung di Kelompok tersebut.Beberapa kegiatan yang sudah pernah dilkukan dalam rangka Peningkatan masyarakat eks buruh Migran adalah sebagai berikut : Pelatihan Pemberdayaan TKI Purna yang diselenggarakan oleh LP3TKI di Surabaya, kegiatan itu dilaksnakan selama 6 hari , dan Pasca kegiatan tersebut mendapatkan bantuan pisau untuk iratan bambu. Di Bulan Agustus yang lalu Bu Sunarsih mendapatkan kesempatan mendapatkan pelatihan dari Kementerian Tenaga Kerja di Jakarta. Berbekal Pelatihan itu mendorong Bu sunarsih dan kawan-kawan memcontoh kegiatan Community Parenting yang dahulu pernah dilakukan oleh BKKBN yang tidak berjalan sesuai dengan rencana.
Sebenarnya siang ini kenapa  Saya dan Mas Gunawan , DF Inisiatif mengunjungi rumah kecilnya  adalah untuk mendengar dan sharing informasi kegiatan Bu Sunarsih dan kawan -kawan dalam rangka Pendampingan eks Buruh Migran di Desa Dongko yang akan kita jadikan sebagai bahan yang bisa disampaikan kepada Pemerintah Desa dan Dinas terkait agar mau membantu apa yang menjadi kegiatan Bu Sunarsih dan kawan-kawan. Dari pembicaraan awal kami menangkap bahwa mereka secara pondasi semangat dan kerja sudah sangat terlatih, kalaupun tidak ada ataupun ada bantuan dari siapapun mereka sudah sangat mampu dan madiri. Hanya saja perlu adanya pengarahan kegiatan yang bisa dilakukan oleh Bu Sunarsih dan Kawan -kawan agar punya nilai kemanfaatan lebih terhadap Eks Buruh Migran atau Buruh Migran yang masih diluar negeri.
Bu Sunarsih , menceritakan bahwa per Oktober 2017 telah beliau dan Kawan -kawan digandeng oleh Disnakertras Kabupaten Trenggalek untuk melakukan pendataan (sensus ) TKI per bulan deangn nama program “Anjang sana” TKI/TKW . Data per Oktober 2017 lebih dari 500 orang yang bekerja diluar negeri , jumlah itu masih yang terdata secara resmi di Disnakertras belum lagi yang berangkat secara ilegal , masih ada hampir 300 an orang itu satu wilayah di Desa Dongko. Ada pertanyaan yang saya ajukan terkait dengan kendala yang dihadapi dilapangan terkait dengan kegiatan sensus tersebut. Bu Sunarsih menceritakan bagaimana dia harus mengadapi situasi ketika masuk didalam rumah salah satu TKW yang ada anak kecil yang secara tiba-tiba merangkul, menggelayut, seolah -olah rindu akan figur ibunya. Tidak jarang beliau harus menyisihkan uang pribadinya untuk membeli Makanan kecil sebagai oleh -oleh ketika melakukan pendataan.
 Beliau juga menyampaikan bahwa Tanggal 6-8 Desember 2017 diadakan pelatihan jahit yang diselenggarakan oleh Dinas Tenaga kerja dan transmigrasi kabupaten Trenggalek, bertempat di rumah bapak Suryono, RT 21 RW 05 Dusun Klangsur Desa Dongko.Bu Sunarsih dan kawan -kawan sedang merintis Sebuah Koperasi Simpan Pinjam khusus untuk purna TKI/TKW yang selama ini kesulitan meminjam uang untuk modal, sehingga banyak yang pinjam ke Koperasi Simpan Pinjam dengan Bunga yang relatif tinggi.Sejalan dengan apa yang sedang  dirintis oleh Bu sunarsih dan Kawan-kawan, kami berupaya menawarkan solusi agar Koperasi Purna ini bisa menjadi salah satu Sub bidang dari BUMDes di Desa Dongko . Dengan hadirnya BUMDes Dongko yang melibatkan Kegiatan Purna TKI akan mampu menigkatkan taraf hidup purna TKI/TKW. BUMDes tidak hanya sebagai tempat untuk Simpan Pinjam tapi lebih pada Peningkatan kwalitas produk dan sekaligus bisa menjadi wadah untuk menjual produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat Dongko.Letak Desa Dongko yang strategis sebagai urat nadi Perputaran uang yang dari arah Panggul dan Pule, seharusnya secara pasar sangat luas.itulah yang selama ini masih belum tergarap secara serius oleh Pemerntah Desa Dongko.
Diakhir pertemuan Siang ini , Bu Sunarsih berharap besar agar upaya yang beliau rintis  dengan kawan -kawan mendapatkan pendampingan secara serius dan berkelanjutan agar tidak ada Eks Buruh Migran yang kembali lagi bekerja ke luar negeri. Dan Mereka yang masih diluar negeri bisa memanfaatkan hasilnya secara benar untuk bekal dimasa yang akan datang.Seperti pepatah “Dari pada hujan emas dinegeri orang lebih baik hujan batu dinegeri sendiri, bagaimanapun senangnya dinegeri orang ,masih lebih senang hidup dinegeri sendiri “ ... (to be continue)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar