Seakan-akan sudah seperti isu klasik
menjelang Perayaan hari Natal 25 Desember, Saudara –saudara kita Kristiani
diserang oleh isu tentang “haram” mengucapkan “Selamat Hari Natal”. Cuma yang
saya heran kenapa mereka tidak bosan-bosannya menghembuskan isu-isu “murahan”
untuk mendiskreditkan saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan. Apa ketika
kita mengucapkan Natal terus kita menjadi orang Kristen atau sebaliknya ketika
mereka mengucapkan Idul fitri bisa jadi orang islam ,kan yang tidak boleh itu
ketika kita “Murtad” Mbok biarkan saja toh..itu pilihan mereka, kan yang nagging
resikonya mereka sendiri dengan yang punya jasad?siapa yang punya Jasad?kan
Tuhan jadi berhentilah menghakimi apa yang diyakini benar oleh orang lain (caknun).
Bahkan Budayawan kondang Emha
ainun Nadjib atau yang di kenal Cak Nun dengan Kyai Kanjengnya di banyak kesempatan
selalu menyampaikan pandangannya tentang Pluralisme bahwa kulit putih, hitam,
dan kulit coklat, ulama, tukang becak, pencari kodok atau pengusaha, hanyalah
terbedakan secara fungsional dan terminologis. Tetapi mereka adalah manusia
yang sama dan memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap kebahagiaan,
kesejahteraan, hak politik serta kewajiban untuk patuh terhadap aturan main.beliau
juga mencotohkan seperti dalam esai Tulisan Tri
wahyu Budi Setiawan ada sebuah kisah orang muslim yang mau melahirkan
padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik
untuk mengantar istrinya ke rumah sakit. Atau, Pak Pastor yang sebelah sana
karena baju misanya kehujanan, padahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju
koko tetangganya yang NU maupun yang Muhammadiyah. Atau ada orang Hindu
kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa
colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan
jualannya.
Dari ilustrasi diatas sungguh sebuah hubungan kemanusiaan
yang luar biasa dan mampu menciptkan kedamaian dan tidak saling curiga satu
dengan yang lain.Saya sendiri juga bagian muslim yang dari keciil berada di lingkungan
yang kebetulan seluruhnya muslim.Ketika Sekolah Dasar selama 6 tahun guru saya
ada yang beragama Non Muslim dan Sekarang juga bekerja dengan mereka yang non
muslim. Tapi apa yang terjadi saya tetap baik- baik saja dalam memegang prinsip
kegamaan saya. Bahkan setiap tanggal 25 Desember keluarga besar tempat bekerja
saya selalu datang untuk memberikan
selamat Hari Natal
PERSAUDARAAN DENGAN PRINSIP KEISLAMAN
Kata Mbah Nun, kebanyakan kita berpikir bahwa ukhuwah
Islamiyah adalah persaudaraan (keguyuban, kebersamaan, kesatuan) di antara
orang-orang Islam. Bahwa ukhuwah Islamiyah menyangkut hanya kaum Muslimin dan
Muslimat.
Padahal, lanjut Mbah Nun, ukhuwah Islamiyah bukan
ukhuwatul-muslimin atau ukhuwah bainal-muslim wal-muslim, atau macam-macam
pertalian lagi di kalangan kaum muslimin. Juga bukan ukhuwatul-Islamiyah,
melainkan ukhuwatun Islamiyatun. Jadi Islamiyah di situ merupakan kata sifat.
Artinya, ukhuwah Islamiyah ialah suatu persaudaraan dengan prinsip keislaman,
pola keislaman dan nafas keislaman. Persaudaraan antara siapa? Antara semua
manusia.
Jadi?
Mbah Nun menambahkan bahwa kita punya cukup banyak ayat untuk
”mengafirkan” orang, ”memusyrikkan” atau ”memunafikkan”-nya, dalam arti
menghakimi ”status”-nya. Tapi marilah perhatikan beberapa hal:
Pertama, apa yang sebenarnya kita maksud dengan membina
ukhuwah, apa lingkaran konteksnya, mana batas-batasnya, dalam hal apa kita bisa
berangkulan dan dalam soal mana kita wajib bertentang pandang. Kalau ada orang
ketubruk truk jangan kita tanya dulu apa agamanya, sebab kalau dia bilang
Hindu, kita bukan tidak menolongnya.
Kedua, marilah kita percaya kepada Allah yang menyebut, bahwa
pada dasarnya manusia itu lemah. Jadi ada baiknya kita cari pahala dengan
berpikir atas nafas allafa baina qulubihim, bahwa orang yang kita sebut kafir,
musyrik, munafik itu setidaknya ”sekadar” orang yang mengandung unsur
kekufuran, kemusyrikan dan kemunafikan. Hidup itu sendiri kompleks, tak
terangkum oleh arti tunggal, dan kita mesti berendah hati untuk memahami
seluruh segi hidup beserta latar belakang pertumbuhannya.
Seperti juga kalau kita hidup terlalu mengejar uang dan
kebendaan sampai mubazir dan sering tidak fungsional, maka unsur kemusyrikan
kita juga besar. Dan lagi, prilaku orang non-Muslim tidak jarang lebih dari
Islam di banding prilaku kita yang muslim syahadat fasih ini. Jadi kita harus
siap menilai muslim-kafir lebih dari sekadar gincu bibirnya, dengan demikian
kita bisa menemukan makna ukhuwah Islamiyah secara lebih luas.
Ketiga, bagaimana kalau (kewajiban Muslim) kita mencintai
semua orang seperti kita mencintai diri sendiri? Kalau tetangga kita suka judi
dan mabuk, maka kadar cinta mesti lebih besar agar kita cukup stamina untuk
memperhatikannya dan berusaha menyeretnya untuk tak meneruskan perbuatannya.
Orang-orang di luar Islam mestinya justru kita dekati, dengan ukhuwah
Islamiyah, agar kita berbuat baik atas mereka dan membawa mereka ke dalam
jannatun-na’im. Tetapi, yang harus diingat, menurut Mbah Nun:
Syaratnya memang mesti kuat dulu Islam kita, supaya tidak
justru terseret oleh mereka. Dan kalau selama ini kita cenderung membentengi
diri bergaul dengan mereka, bahkan menjauhi mereka, melihat mereka hanya
sebagai kerak api neraka, maka artinya di samping kita tak mampu mengasihi
manusia, kita juga kurang memanfaatkan kesempatan untuk menguji dan
memperkembangkan kekuatan keislaman kita. Kelemahan kaum muslim umumnya, selama
ini, ialah kurangnya kemampuan dan menghakimi dalam arti hanya menggarap orang
non-Islam sebagai sekadar musuh, tidak (juga) sebagai manusia yang sesama kita;
yang musti kita cintai. Karena itu jangankan berhubungan ke luar Islam, bahkan
internal Islam sendiri perbedaan sering tidak menjadi rahmat, melainkan menjadi
malapetaka dari ketidakdewasaan.
Bagaimana mungkin kita berdakwah dengan cara menjauhi dan
membenci mereka? Ukhuwah Islamiyah, adalah salah satu aplikasi dari makna Islam
sebagai rahmatan-lil-‘alamin: cahaya benderang bagi semua manusia. Maka kita
jangan monopoli untuk kepentingan kita saja, sebab adalah hak setiap anggota
ummat dunia untuk berproses menjadi Islam –betapapun ruwet proses itu.
Kewajiban kitalah untuk memberi jalan bagi mereka.
Mbah Nun menandaskan:
Islam itu kedamaian dan keselamatan bagi seluruh manusia.
Islam bukan agama pembunuh-pembunuh yang egois, meskipun Islam bisa dan layak
menangani menampar pihak-pihak tertentu, sepanjang mereka sudah tak bisa lagi
dicintai secara lembut dan senyuman.
Tentang perbedaan keyakinan, Mbah Nun mengatakan bahwa
keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah
diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul
atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini
begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati.
Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah
sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa
Islam itu benar, ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam,
agama lain itu salah. Justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam. Tapi,
sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja di dalam hati, jangan
diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.
Untuk itu, lanjut Mbah Nun, biarlah setiap orang memilih
istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk
menghormati dan mencintai istrinya masing-masing. Tak usah rewel bahwa istri
kita lebih mancung hidungnya karena bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan
tidak pakai dokter, umpamanya.
Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah
dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya.
Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik,
kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Jangankan kerja sama
dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapi pun kita bekerja sama
nyingkal dan nggaru sawah. Itulah lingkaran tulus hati dengan hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar