Kamis, 14 Desember 2017

UKHWAH INSANIYAH DI JAMAN NOW

Seakan-akan sudah seperti isu klasik menjelang Perayaan hari Natal 25 Desember, Saudara –saudara kita Kristiani diserang oleh isu tentang “haram” mengucapkan “Selamat Hari Natal”. Cuma yang saya heran kenapa mereka tidak bosan-bosannya menghembuskan isu-isu “murahan” untuk mendiskreditkan saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan. Apa ketika kita mengucapkan Natal terus kita menjadi orang Kristen atau sebaliknya ketika mereka mengucapkan Idul fitri bisa jadi orang islam ,kan yang tidak boleh itu ketika kita “Murtad” Mbok biarkan saja toh..itu pilihan mereka, kan yang nagging resikonya mereka sendiri dengan yang punya jasad?siapa yang punya Jasad?kan Tuhan jadi berhentilah menghakimi apa yang diyakini benar oleh orang lain (caknun).

 Padahal Sudah jelas Negara Indonesia berediologikan Pancasila yang menghormati keberagaman Agama. Dan 25 Desember sudah dijadikan sebgai hari libur Nasional dan secara sah sudah diakui oleh Negara. Mbok ya o….di tanggal 25 Desember kita saling merangkul dan menghormati sebagai bagian dari Ukhwah Insyaniyah jangan mengkotak-kotakkan manusia lain karena perbedaan keyakinan.Menurut Tri Wahyu Budi Setiawan dalam tulisanya “Persaudaraan Manusia Sedunia” yang menyatakan bahwa “Secara luas, ada tiga tingkatan persaudaran, yakni: pertama, persaudaraan di antara sesama manusia (ukhuwah insaniyah) secara menyeluruh, dalam hal ini tidak melihat adanya perbedaan dari aspek apapun, yang dilihat hanyalah dimensi kemanusiaan. Kedua, persaudaraan (ikatan) di antara mereka yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini tidak menetapkan atau memastikan nama Agama, tetapi yang dilihat adalah pada dimensi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, persaudaraan sesama umat Islam. Dalam hal ini, ada suatu keharusan bahwa hanya pada orang-orang muslim, meski demikian dalam persaudaraan sesama muslim tidak melihat adanya perbedaan etnis, jenis kelamin, bahasa, dan lain-lain. Ajaran tentang persaudaraan dimaksud akan berhadapan dan bersentuhan dengan kemajemukan agama, budaya, etnis dan berbagai sekte, berbagai aliran dan mazhab yang ada dalam Islam sendiri. Kondisi seperti ini sering disebut dengan pluralisme.”


Bahkan Budayawan kondang Emha ainun Nadjib atau yang di kenal Cak Nun  dengan Kyai Kanjengnya di banyak kesempatan selalu menyampaikan pandangannya tentang Pluralisme bahwa kulit putih, hitam, dan kulit coklat, ulama, tukang becak, pencari kodok atau pengusaha, hanyalah terbedakan secara fungsional dan terminologis. Tetapi mereka adalah manusia yang sama dan memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap kebahagiaan, kesejahteraan, hak politik serta kewajiban untuk patuh terhadap aturan main.beliau juga mencotohkan seperti dalam esai Tulisan Tri wahyu Budi Setiawan ada sebuah kisah orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit. Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, padahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhammadiyah. Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya.
Dari ilustrasi diatas sungguh sebuah hubungan kemanusiaan yang luar biasa dan mampu menciptkan kedamaian dan tidak saling curiga satu dengan yang lain.Saya sendiri juga bagian muslim yang dari keciil berada di lingkungan yang kebetulan seluruhnya muslim.Ketika Sekolah Dasar selama 6 tahun guru saya ada yang beragama Non Muslim dan Sekarang juga bekerja dengan mereka yang non muslim. Tapi apa yang terjadi saya tetap baik- baik saja dalam memegang prinsip kegamaan saya. Bahkan setiap tanggal 25 Desember keluarga besar tempat bekerja saya selalu  datang untuk memberikan selamat Hari Natal

PERSAUDARAAN DENGAN PRINSIP KEISLAMAN

Kata Mbah Nun, kebanyakan kita berpikir bahwa ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan (keguyuban, kebersamaan, kesatuan) di antara orang-orang Islam. Bahwa ukhuwah Islamiyah menyangkut hanya kaum Muslimin dan Muslimat.
Padahal, lanjut Mbah Nun, ukhuwah Islamiyah bukan ukhuwatul-muslimin atau ukhuwah bainal-muslim wal-muslim, atau macam-macam pertalian lagi di kalangan kaum muslimin. Juga bukan ukhuwatul-Islamiyah, melainkan ukhuwatun Islamiyatun. Jadi Islamiyah di situ merupakan kata sifat. Artinya, ukhuwah Islamiyah ialah suatu persaudaraan dengan prinsip keislaman, pola keislaman dan nafas keislaman. Persaudaraan antara siapa? Antara semua manusia.
Jadi?
Mbah Nun menambahkan bahwa kita punya cukup banyak ayat untuk ”mengafirkan” orang, ”memusyrikkan” atau ”memunafikkan”-nya, dalam arti menghakimi ”status”-nya. Tapi marilah perhatikan beberapa hal:
Pertama, apa yang sebenarnya kita maksud dengan membina ukhuwah, apa lingkaran konteksnya, mana batas-batasnya, dalam hal apa kita bisa berangkulan dan dalam soal mana kita wajib bertentang pandang. Kalau ada orang ketubruk truk jangan kita tanya dulu apa agamanya, sebab kalau dia bilang Hindu, kita bukan tidak menolongnya.
Kedua, marilah kita percaya kepada Allah yang menyebut, bahwa pada dasarnya manusia itu lemah. Jadi ada baiknya kita cari pahala dengan berpikir atas nafas allafa baina qulubihim, bahwa orang yang kita sebut kafir, musyrik, munafik itu setidaknya ”sekadar” orang yang mengandung unsur kekufuran, kemusyrikan dan kemunafikan. Hidup itu sendiri kompleks, tak terangkum oleh arti tunggal, dan kita mesti berendah hati untuk memahami seluruh segi hidup beserta latar belakang pertumbuhannya.
Seperti juga kalau kita hidup terlalu mengejar uang dan kebendaan sampai mubazir dan sering tidak fungsional, maka unsur kemusyrikan kita juga besar. Dan lagi, prilaku orang non-Muslim tidak jarang lebih dari Islam di banding prilaku kita yang muslim syahadat fasih ini. Jadi kita harus siap menilai muslim-kafir lebih dari sekadar gincu bibirnya, dengan demikian kita bisa menemukan makna ukhuwah Islamiyah secara lebih luas.
Ketiga, bagaimana kalau (kewajiban Muslim) kita mencintai semua orang seperti kita mencintai diri sendiri? Kalau tetangga kita suka judi dan mabuk, maka kadar cinta mesti lebih besar agar kita cukup stamina untuk memperhatikannya dan berusaha menyeretnya untuk tak meneruskan perbuatannya. Orang-orang di luar Islam mestinya justru kita dekati, dengan ukhuwah Islamiyah, agar kita berbuat baik atas mereka dan membawa mereka ke dalam jannatun-na’im. Tetapi, yang harus diingat, menurut Mbah Nun:
Syaratnya memang mesti kuat dulu Islam kita, supaya tidak justru terseret oleh mereka. Dan kalau selama ini kita cenderung membentengi diri bergaul dengan mereka, bahkan menjauhi mereka, melihat mereka hanya sebagai kerak api neraka, maka artinya di samping kita tak mampu mengasihi manusia, kita juga kurang memanfaatkan kesempatan untuk menguji dan memperkembangkan kekuatan keislaman kita. Kelemahan kaum muslim umumnya, selama ini, ialah kurangnya kemampuan dan menghakimi dalam arti hanya menggarap orang non-Islam sebagai sekadar musuh, tidak (juga) sebagai manusia yang sesama kita; yang musti kita cintai. Karena itu jangankan berhubungan ke luar Islam, bahkan internal Islam sendiri perbedaan sering tidak menjadi rahmat, melainkan menjadi malapetaka dari ketidakdewasaan.
Bagaimana mungkin kita berdakwah dengan cara menjauhi dan membenci mereka? Ukhuwah Islamiyah, adalah salah satu aplikasi dari makna Islam sebagai rahmatan-lil-‘alamin: cahaya benderang bagi semua manusia. Maka kita jangan monopoli untuk kepentingan kita saja, sebab adalah hak setiap anggota ummat dunia untuk berproses menjadi Islam –betapapun ruwet proses itu. Kewajiban kitalah untuk memberi jalan bagi mereka.
Mbah Nun menandaskan:
Islam itu kedamaian dan keselamatan bagi seluruh manusia. Islam bukan agama pembunuh-pembunuh yang egois, meskipun Islam bisa dan layak menangani menampar pihak-pihak tertentu, sepanjang mereka sudah tak bisa lagi dicintai secara lembut dan senyuman.
Tentang perbedaan keyakinan, Mbah Nun mengatakan bahwa keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati.
Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar, ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah. Justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam. Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja di dalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.
Untuk itu, lanjut Mbah Nun, biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing. Tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya.
Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya.
Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapi pun kita bekerja sama nyingkal dan nggaru sawah. Itulah lingkaran tulus hati dengan hati.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar